Agama
Djawa Sunda (sering
disingkat menjadi ADS) adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog
Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal
sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda
Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Abdul Rozak,
seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian
dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang
tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga
masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di
daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dll. Jumlah pemeluknya di
daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain
ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak,
mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang
terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini
dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah
Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate ,
dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai
Madrais — adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di
wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan
ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal
sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan
tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat
pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya
dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya
menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.
Ajaran dan ritual dalam ADS
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut
kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara
besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah
peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh
Pangeran Djatikusuma.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari
masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa,
kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang).
Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah
dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang
biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian
daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun
kini upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara "Seren Taun"
pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimiharja, mantan
Presiden RI, Abdurahman Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah
lainnya.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi
Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia
memuliakan Maulid Nabi Muhammad, namun menolak Al Qur'an karena menurutnya Al
Qur'an yang sekarang tidak sah. Al Qur'an sejati, katanya, akan diturunkan
menjelang kiamat.
Selain itu, Agama Djawa Sunda atau ajaran Madrais
ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan
dalam sebuah peti mati.
Masa depan ADS
Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk
agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen
(Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika pemerintah
Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang
kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.
Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan
kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian
oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban
Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak
laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini.
Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat
mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih
agama ataupun kepercayaan lain.
No comments:
Post a Comment