Harian Rakjat sengaja menempatkan lini sastra sebagasi salah satu pilar terhormat dalam sajiannya. Sekira sejak 1961, nyaris saban hari Harian Rakjat memuat cerpen yang hanya akan absen ketika ada hal-hal penting atau pidato-pidato yang memerlukan tempat yang luas pemuatannya. Memberi tempat yang sederajat antara berita reguler dan cerpen adalah hal yang sangat tak lazim untuk sebuah koran politik dan bukan koran kebudayaan.
Media corong PKI itu adalah surat kabar bersarung tinju. Harian petarung yang memiliki energi berlebih di masa ketika PKI berada di atas angin politik dan menjadi medan perkelahian di segala bidang. Harian Rakjat, yang terbit perdana pada 1951, hadir dengan sangat dominan, progresif, massif, sehingga koran ini menjadi penunjuk dan alamat sebuah kurun bagaimana konfrontasi ideologi yang ofensif menjadi drama perulangan yang setiap saat diputar oleh sejarah negeri ini. Medan sastra-budaya menjadi salah satu jalur perang yang dipilih para jurnalis Harian Rakjat, termasuk sebagai sasaran tembak busur yang dibidikkan oleh para srikandinya lewat panah geledek ala cerita pendek.
Jin Merah Merasuki Sudjinah
Sudjinah, yang lantas populer sebagai S. Djin, sangat serius menyuntuki aktivitas politiknya bersama beberapa organ PKI. Meski tak sempat lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada yang didapatnya melalui beasiswa pada 1952, Sudjinah memperoleh pengalaman berharga semasa menjadi mahasiswa dengan berkecimpung di Pemuda Rakjat (PR) dan Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perubahan nama organisasi dari Gerwis menjadi Gerwani pun tak berlangsung adem-ayem, ada semacam tarik-menarik kepentingan dalam tubuh organisasi perempuan yang masuk kategori revolusioner ini.
Djin terlahir dari keluarga priyayi di Surakarta pada 27 Juli 1928. Sang kembang Merah ini sejak belia sudah turut serta dalam perang kemerdekaan bersama Mobile Pelajar dan Pemuda-Pemudi Indonesia. Sudjinah pernah menjadi kurir Batalyon Bramasta di selatan Bengawan Solo pada 1949 dan aktif ikut bertempur melawan musuh-musuh Republik di dekat Salatiga, Tengaran, dan Mrangen.
Kurun 1955-1957, Djin beberapa kali dipercaya mewakili Gerwis untuk mengikuti beberapa pertemuan pemuda internasional, termasuk sebagai delegasi pemuda dalam Festival Pemuda Sedunia di Warsawa, Polandia. Kemudian, Djin diminta untuk bekerja di kantor pusat Women’s International Democratic Federation di Berlin, dan selama masa kerja itu, ia hadir di berbagai konferensi internasional, dari Helsinki, Kopenhagen, Lausane, sampai Paris. Djin juga rutin mengirimkan tulisan-tulisannya ke tanah air untuk dimuat di Harian Rakjat.
Djin pulang ke Indonesia pada 1957, dan lantas menjadi jurnalis paruh waktu di sejumlah surat kabar di samping bekerja sebagai penerjemah untuk Pravda, kantor berita Uni Soviet. Tahun 1963, Djin diminta membantu sebagai penerjemah pada Delegasi Buruh Wanita Sedunia di Bukarest, Rumania.
Sudjinah tak hanya menebalkan diri sebagai politikus dan aktivis perempuan, tetapi juga menggaet citra sebagai jurnalis sekaligus sastrawan berbakat yang rajin menggelar cerpen-cerpennya, terutama melalui Harian Rakjat. Beberapa lembar cerpen karya Sudjinah, yang menyematkan S. Djin sebagai nama pena, tak jarang menyisipkan idelialisme yang dianutnya. Rupa-rupanya, Djin sudah kepalang tanggung dirasuki jin Merah, bahkan dalam karya fiksinya sekalipun.
Bacalah, misalnya, salah sebuah cerpen S. Djin yang bertajuk “Onah di Tepi Ciliwung”. Cerpen yang dimuat di Harian Rakjat edisi 16 Juli 1955 itu secara garis besar mengisahkan tentang kehidupan Onah, gadis miskin yang diangkat anak oleh Mak Idjah, seorang mucikari yang tak kalah melarat. Cerita mengambil latar tempat di kompleks lokalisasi kelas teri di seputaran kali Ciliwung, Jakarta, dengan kurun waktu pertengahan dekade 1950-an, masa di mana PKI sedang merajut impian kejayaannya.
Lazimnya aktivis perempuan, aroma perjuangan emansipasi wanita langsung terendus manakala kisah S. Djin sampai pada segmen keprihatinan Onah kepada gadis-gadis binaan ibu angkatnya yang terpasung di lembah hitam:
“Onah tahu dengan nyata dari dekat, bahwa Hindun, Romlah, dan lain-lain adalah manusia-manusia yang berjiwa, bukan boneka-boneka yang tak merasa. Ia tahu, bagaimana Hindun, si Manis yang masih muda itu pernah menangis semalam-malaman, karena mencintai Kasim. Kasim pemuda tampan yang pernah datang padanya sekali dua kali, merajuknya dengan kata-kata madu tentang cinta dan perkawinan, tetapi kemudian tak lagi kembali.”
Dari penggalan fragmen di atas terlihat ada dua hal yang hendak dibidik S. Djin terkait dengan perjuangan nasib kaum Hawa. Pertama, bahwa para perempuan yang menjadi korban kehidupan dengan terpaksa menjalani karir sebagai penjaja kenikmatan adalah manusia yang juga harus dihargai harkat dan martabatnya. Kedua, persoalan klasik ihwal arogansi kaum lelaki, bahwa makhluk berjenis pria seringkali mengibuli perempuan. Hindun, salah seorang penghuni kompleks yang bersahabat dengan Onah, sangat mencintai Kasim, sementara Kasim justru pernah beberapa kali gencar merayu Onah dengan sekantung tebal berisi bualan semanis gula tentang kesakralan cinta dan indahnya perkawinan.
Masih berkutat di ranah masalah yang sama, dibumbui dengan keluh-kesah tentang ketidakadilan kehidupan, simaklah gugatan Onah selanjutnya:
“Ya… Onah kadang-kadang merasa dengan tajam mengiris keinginan-keinginannya untuk hidup sebagai lain-lain manusia di luar tepi Ciliwung. Suami istri dengan anak-anaknya yang tampak bahagia dilihatnya keluar masuk toko. Adakah kasih-mesra hanya untuk sebagian manusia “di atas” nya? Sedangkan baginya… Onah, Romlah, Hasnah dan teman-temannya tak boleh memimpikan hidup berkeluarga yang bahagia? Romlah sangat sayang kepada anak-anak kecil, mungkin akan menjadi ibu yang penuh “sayang” kalau masyarakat tak melemparkannya dalam gang-gang gelap. Adakah manusia-manusia laki-laki yang menganggapnya sebagai boneka permainan nafsu sekejap, pernah memikirkan keinginan-keinginan yang meronta dan mengiris jantung pelacur-pelacur di tepi jalan? Keinginan hidup sebagai manusia, bukan benda pelepas nafsu setiap malam?”
Onah lagi-lagi menginginkan kehidupan yang lebih baik, yang lebih adil, dan yang lebih dihargai sebagai dan oleh sesama manusia. Onah kembali mempertanyakan, adakah lelaki yang tak hanya memperlakukan perempuan sebagai pemuas hasrat setiap saat, namun juga dengan tulus memikirkan bahwa perempuan malam pun punya cita-cita untuk berkehidupan yang lebih wajar dan manusiawi? Sampai akhir cerita, Onah belum mendapatkan jawabannya.
Dalam cerpen ini, kuasa jin Merah tak absen menyertai goresan kisah yang digurat S. Djin. Tanpa basa-basi, Djin memasukkan andil PKI dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat kecil lewat kisahnya. Kemunculan tokoh Bang Dul, penjual rokok yang sebelah kakinya lumpuh akibat pukulan tentara Belanda pada zaman perang, seolah menjadi malaikat agung bagi Onah. Bang Dul, pembawa pencerahan atas nama Palu Arit, dikisahkan sebagai sosok yang dianggap paling cerdas karena gemar membaca koran dan berkawan dengan banyak orang dari partai pejuang rakyat jelata. Cermati baik-baik nasihat Bang Dul kepada Onah berikut ini:
“Onah, kau lihat itu tanda hitam di pohon asem. Tanda Palu Arit adalah tanda harapan yang akan datang. Kawan-kawan kita banyak yang kini berjuang agar hilang semua penderitaan manusia. Juga penderitaanmu, Onah! Kau tahu, kakiku lumpuh akibat pukulan-pukulan penjajah Belanda pada permulaan revolusi. Tetapi aku tahu juga, bahwa di mana-mana kawan-kawan telah bangun bergerak. Kau tidak dilupakan… Onah! Meskipun mereka tak kenal, karena tugasnya tersebar di mana-mana, tetapi percayalah mereka membanting tulang untuk merubah keadaan yang hampir tak tertahan ini!”
Diceritakan juga dalam karya S. Djin, bahwa Onah menaruh harapan besar kepada Bang Dul dan kawan-kawan partai Merah-nya. Onah turut bergempita di antara kisah heroik Bang Dul, bagaimana lapangan Merdeka pernah meluap dalam rapat umum di bawah kibaran panji harapan Merah bertanda Palu Arit keemasan di samping Sang Dwiwarna yang megah.
Ingin rasanya Onah ikut bersorak kendati ia tak mengerti apa yang disorakkan dan ia pun tak berani. Onah hanya tahu bahwa tanda Palu Arit adalah tanda harapan kehidupan. Onah tak ingin lagi terbenam dalam pelukan gelombang coklat air Ciliwung yang mengalir deras bersama hujan lebat, selaras dengan asa yang dikobarkan Bang Dul kepadanya.
“Tanda harapan itu kulihat tersebar di kota juga di desa-desa. Dan mereka akan yang jujur akan memihak kita, lihatlah… masa akan berubah!” seru Djin lewat perantara Bang Dul.
Djin, yang pada 1949 pernah menjadi kurir Batalyon Bramasta di selatan Bengawan Solo, masih memiliki sederet cerpen yang juga mengusung semangat berpolitik serta daya juang melawan ketidakadilan. Cerpen berjudul “Memecah Gelombang” dan “Kemana Arah”, adalah dua di antara beberapa karya fiksi Djin yang dimuat di Harian Rakjat.
“Memecah Gelombang” tampil di Harian Rakjat berangka tanggal 27 Maret 1961. Kali ini Djin lebih menyoroti perihal anti kolonialisme-imperialisme Belanda dan anti kolonialisme-fasisme Jepang yang bergantian menggerogoti bumi pertiwi. Alkisah, setelah para penjajah pergi, banyak kalangan yang meragukan kemampuan bangsa Indonesia dalam mengolah sumber dayanya yang meruah. Manusia Bumiputera, yang selama masa penjajahan hanya diposisikan sebagai buruh-buruh kasar yang bekerja untuk kepentingan kolonial, termasuk yang bekerja di perusahaan-perusahaan pembuatan kapal, dianggap tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk mengelola kekayaan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, seperti yang dikalamkan Djin dalam nukilan “Memecah Gelombang”:
“Belanda memang pergi. Tetapi bukankah masih ada benang-benang yang tersangkut membelit halus dalam hati sementara mereka yang akan bersorak bila perusahaan tak lagi lancar, ataupun benang-benang itu masih pula meruwet dalam hati mereka yang mendambakan kekayaan dari bagi diri sendiri? Tak mudah menjaga “milik RI” bila RI itu mau dilarikan bermacam-macam. Bukankah rakyat telah memberikan segenap daya dan hidupnya untuk mempertahankan “milik RI” dan bukankah mereka pula yang harus merasakan hasil kerjanya?”
Akhir cerita dari “Memecah Gelombang”, Djin menuturkan bahwa Andi, mantan pekerja kilang minyak dan perusahaan pembuatan kapal –yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini– bertekad untuk meneruskan juang di tengah kawan-kawan buruh kapal yang tak banyak kata, tetapi hari demi hari membangun, mencipta rangka-rangka yang semakin berujud kapal:
“Beribu tangan yang kuat dan cekatan itulah yang memegang palu godam mendering menggema di pelabuhan dan sesuatu saat menghancurkan kapal-kapal ‘buatan Indonesia’ yang segera mengarungi lautan merangkai pulau-pulau dan memecah gelombang.”
Bebauan Merah kembali menyeruak dalam cerpen Djin berikutnya yang diberi titel “Kemana Arah”. Karya yang mengisi Harian Rakjat edisi 23 Agustus 1961 ini berawal dengan kisah Saman, bekas komandan pasukan gerilya di era revolusi fisik, yang merasakan gundah luar biasa di alam kemerdekaan. Jiwa Saman masih terkungkung dalam romantisme heroisme perang di masa silam. Saman kini bagaikan sampan yang rapuh tanpa kemudi, ia tak tahu ke mana arah yang mesti dituju. Tiada tempat kerja yang memuaskan, tiada karib yang bisa memahami. Teman-teman yang tak mengerti gejolak di hati Saman menistakannya sebagai orang “aneh”, “berlagak filosof”, bahkan menyebutnya “sinting”.
Sampai akhirnya Saman bersua lagi dengan Jono, teman seregunya di masa perang, yang telah menikah dengan Rani, mantan petugas palang merah yang dulu pernah merawat luka Saman. Kedua bekas karib seperjuangannya itu sekarang bersibuk sebagai aktivis serikat buruh dan penuh harapan akan hari-hari yang lebih baik di masa mendatang. Kepada Saman, Jono bercerita dengan sarat gairah tentang perjuangan mereka di masa kini, tentang kemajuan di serikat buruh. “Kita harus menyatukan diri dan bersama-sama memikirkan apa yang mesti kita kerjakan,” ajak Saman. Rani pun tak mau kalah dengan tak henti-hentinya melaporkan kepada Saman tentang kemajuan organisasi wanita yang dipimpinnya. Nah, di sinilah jin Merah itu kembali merasuki guratan pena S. Djin.
Berkat Jono dan Rani yang aktivis kiri itu, Saman tak lagi kehilangan arah. Benar-benar disadarinya, betapa diam berarti mundur dalam pergolakan zaman yang minta kerja serba cepat dan tepat. Kepastian kini menyegarkan rasa, meringankan langkah dan mengalirkan gairah hidup berjuang untuk cita-cita. “Saman kini mengetahui di mana ia berdiri dan dengan girang bersama teman-teman ia berdiri meneruskan langkah yang pernah patah, dengan penuh harapan,” demikian S. Djin memungkasi cerita “Kemana Arah”.
Jelas sudah, bahwa apa yang diisyaratkan Njoto bahwa sastra dan seni merupakan bagian penting dari politik revolusioner, diserap dalam-dalam oleh S. Djin, termasuk melalui cerpen-cerpen fiksinya yang membawa misi mulia, sejalan apa yang dicita-citakan jin Merah melalui partai Merahnya.
Sudjinah ditangkap pada 17 Februari 1967 terkait insiden G-30-S 1965. Ia ditahan di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Djin dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun, mula-mula dibui di Tangerang, kemudian pada 1976 dipindahkan ke Plantungan, Kendal. Pada 17 Agustus 1983, Sudjinah dibebaskan secara bersyarat dengan pengawasan ketat selama 2 tahun. Beberapa buku berhasil ditulisnya selama di dalam kurungan. Setelah bebas, Djin bekerja sebagai interpreter dan guru bahasa Inggris. Malang bagi Sudjinah, ia ditolak oleh keluarganya di Solo dan kemudian hidup dengan teman-temannya di panti jompo di Jakarta. Sudjinah menutup mata di Jakarta pada 6 September 2007.
Sulami, Penyulam Paham Berkalam Imaji
Tepat empat bulan pra Gerakan 30 September meletus, Harian Rakjat edisi 30 Mei 1965 memuat sebuah cerpen dengan judul tebal: “Palu Arit”. Penulisnya adalah Sulami, srikandi Merah kelahiran Sragen, Jawa Tengah, pada 15 Agustus 1926, warsa di mana Hindia Belanda sedang bergolak atas perlawanan kaum Komunis terhadap pemerintahan kolonial.
Cerita “Palu Arit” lebih mirip luapan perasaan atau kisah propaganda yang disajikan dengan lugas, tanpa tedeng aling-aling. Sulami seakan-akan berperan sebagai tokoh utama dalam cerita yang ditulisnya sendiri, dan bukan kebetulan apabila cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang pertama: “aku”. Tokoh utama ini, “aku” yang dikisahkan adalah putri seorang lurah, memiliki nama singkat, yakni Minah.
Alur cerita yang digelontorkan Sulami dalam cerpen ini merujuk pada sulaman data kronologis. Kisah dimulai dengan kondisi yang dialami orang-orang Komunis dalam tahanan aparat kolonial Belanda, termasuk yang dibekuk dari daerah kekuasaan ayahnya. Minah menuangkan ingatannya dalam fragmen mukadimah, berikut nukilannya:
“Aku amat-amati mereka, terutama waktu digiring naik ke sebuah kendaraan tertutup yang biasa untuk mengangkut orang-orang tahanan atau orang-orang hukuman. Karena siksaan-siksaan, mereka berjalan sudah tidak menentu lagi. Ada yang pincang, ada yang membungkuk, ada yang tegap menantang muka pegawai-pegawai Belanda yang congkak-congkak.”
Lakon berlanjut 15 tahun kemudian, ketika lonceng kematian bagi kolonialis Belanda telah satu tahun dijatuhkan. Revolusi Agustus 1945 menyapu kolonialisme dari bumi Indonesia. Minah kecil kini telah beranjak dewasa, menjelma menjadi gadis remaja pemberani yang bersama barisan rakyat turut serta mempertahankan kedaulatan Republik dan berusaha menangkal agresi Belanda yang ingin berkuasa kembali.
Menjelang Pemilihan Umum pertama tahun 1955, Minah semakin giat dalam kegiatan politik, aktivitas Minah ini membuat cemas sang ayah yang mantan lurah di zaman kolonial itu. Suatu hari, sang ayah menemukan brosur kecil yang terlontar keluar dari tas milik Minah. Di muka brosur itu tercetak gambar yang tidak asing lagi: Palu Arit. Terjadilah obrolan singkat antara ayah dan Minah:
“Kamu masuk ini? Palu Arit?”
“Membaca saja, Yah.”
“Tidak usah baca dan tidak usah masuk. Kau ingat dulu? Ayah pusing dengan pekerjaan ini.”
“Siapa yang menbikin pusing, Yah?”
“Orang-orang Palu Arit.”
“Bukan Belanda? Orang-orang Palu Arit menentang Belanda untuk merdeka, dan sekarang sudah merdeka, Yah.”
Ayah diam, tetapi wajahnya merengut, itu pertanda marah. Katanya lagi,
“Minah! Anakku hanya tunggal, kau. Ingat, orang-orang Palu Arit dahulu banyak disembelih dan disiksa masuk penjara.”
“Kaum kolonial, Yah, yang berbuat begitu. Sekarang lain, berjuang. Aku pun harus berjuang.”
“Wanita tidak usah ikut-ikutan berjuang, pemudanya masih banyak, orang lain masih banyak, kalau kamu mati di front bagaimana? Ibumu sudah tua, aku pun demikian, apalagi Palu Arit itu gawat. Orang-orang tua saja takut, kau lagi anak kemarin sore ikut-ikut. Siapa yang nyuruh kau?”
“Tidak ada, aku mau sendiri. Sudah merdeka tidak ada perbedaan antara wanita, dan andainya mati, ayah dan ibu akan menjadi orang tua Pahlawan Wanita.”
Sampai di sini, setidaknya ada tiga poin yang telah disampaikan Sulami melalui “Palu Arit”, antara lain: menentang kolonialisme, berjuang membela bangsa dengan pergerakan Komunisme, serta tidak ada pembedaan antara perempuan dan lelaki, apalagi dalam urusan perjuangan demi tegaknya kedaulatan bangsa. Selanjutnya, cerpen Sulami dengan semakin jelas menonjolkan kebesaran PKI pada masa seputar Pemilu 1955 hendak berlangsung:
“Semua kader revolusioner bersemangat tinggi dan berkembang keras untuk membuat Partainya kaum Palu Arit, PKI menjadi partai yang besar… Pemilihan Umum untuk yang pertama kalinya bagi seluruh Rakyat Indonesia sedang dipersiapkan. Bersama dengan yang lain, aku bekerja mati-matian. Semua bekerja keras untuk melihat Bendera Merah Palu Arit berkibar di angkasa sebagai salah satu Partai terbesar.”
Hingga akhir cerita, Sulami seakan-akan berperan sebagai Minah yang seakan-akan pula berperan sebagai propagandis PKI. Idealisme Merah sangat kental dalam epilog cerpen ini. Dikisahkan bahwa Minah percaya, pahlawan-pahlawan Komunis adalah orang-orang teladan yang pantas ditiru. Orang-orang Komunis yang besar dan ditakuti oleh musuh-musuhnya, imperialisme dan agen-agennya, dan sebaliknya adalah orang-orang yang dicintai oleh rakyatnya. Terakhir, Minah mengikarkan sumpah:
“Tekadku menjadi semakin teguh untuk berjuang di bawah pimpinan Partai Komunis Indonesia yang jaya, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional dan untuk menghancurkan imperialisme, terutama imperialis AS.”
Selain menjadi jurnalis dan penulis cerpen, aktivitas politik keseharian Sulami adalah sebagai wakil ketua DPP Gerwani. Putri keempat dari pasangan Dalyo Djoyoprawiro dan Marminah Sutiyah ini sudah banyak makan asam garam dalam semesta pergerakan wanita sejak era penjajahan Belanda sebelum akhirnya muncul sebagai tokoh sentral Gerwani. Pada 1958, Sulami dipercaya sebagai duta untuk menghadiri Kongres Wanita Sedunia di Wina, Austria, selain kerap pula berkunjung ke negara-negara lainnya. Pengalaman menyambangi berbagai bangsa di belahan bumi tersebut sempat dituliskan Sulami dalam sebuah cerpennya yang lain, berjudul “Kuntum Mekar” yang ditampilkan di Harian Rakjat edisi 3 Maret 1961.
Pasca tragedi G-30-S 1965, Sulami harus mati-matian mengamankan diri, antara lain selama 15 bulan mesti berpindah-pindah tempat, karena menjadi target buron aparat. Selama jadi buronan politik, Sulami masih setia kepada Presiden Sukarno dengan menyediakan diri menjadi anggota Panitia Pendukung Komando Presiden Sukarno. Sama seperti Sudjinah, Sulami pada akhirnya ditangkap dan ditahan, disiksa, dan diinterogasi di markas tentara di Bukitduri, Jakarta Selatan.
“Pada waktu disiksa seperti itu, saya hanya membayangkan rakyat Vietnam yang berjuang mengusir penjajah dan mempersatukan tanah airnya. Perjuangan mereka lebih berat dibanding penderitaan yang saya hadapi,” tutur Sulami tegar. Sulami baru diadili pada 1975, dan selama 20 tahun ia dipenjara di Tangerang potong masa tahanan. Sulami bebas bersyarat pada 1984.
Srikandi Merah Dijajah Sejarah
Sudjinah dan Sulami adalah segelintir dari sekian banyak srikandi Merah Indonesia yang menjadi korban kepentingan politik pasca tragedi G-30-S 1965. Kebanyakan dari mereka digulung tanpa ampun, tanpa pengadilan atau dengan pengadilan yang berbelit dan tidak adil, hingga menjadi orang buangan yang dianggap “sampah” yang membahayakan bagi masyarakat yang sudah dicekoki dengan berbagai macam dogma negatif tentang orang-orang PKI, bahkan hingga sekarang.
Para perempuan Merah itu tak hanya ulung dalam berorganisasi dan berpolitik, tetapi piawai pula memainkan pena dan imaji dalam guratan sastra-budaya sebagai salah satu jalan propaganda sekaligus hiburan bagi rakyat banyak. Selain lewat cerita pendek, para srikandi Merah juga menggelar parade kisahnya melalui berbagai jenis karya seni yang lain, seperti drama, teater, musik, sajak, puisi, novel, juga roman biografis. Salah seorang sosok srikandi Merah yang menuangkan pengalaman hidupnya melalui penulisan roman biografis adalah Ibarurri Putri Alam, anak sulung D.N. Aidit, Ketua PKI sekurun 1947-1965.
Sepanjang hidupnya, Ibarurri hanya sempat merasakan sekejap saja hidup di tanah airnya sendiri. Tahun 1958, ketika usianya baru menginjak 9 tahun, oleh orang tuanya Ibarurri dikirimkan ke Moskow, Uni Soviet, untuk bersekolah. Sejak itu, Ibarurri hanya sempat pulang ke Indonesia untuk liburan sebanyak dua kali, yakni pada 1962 dan beberapa saat sebelum G-30 S pecah pada 1965. Pasca G-30 S, kekuasaan Orde Baru segera menyebarkan tuduhan terhadap orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam G-30 S. Ibarurri jelas ikut terkena tudingan itu dan membuatnya tidak bisa pulang ke tanah tumpah darahnya.
Dari tahun ke tahun sejak 1965, Ibarurri, bersama seorang adik perempuannya yang juga disekolahkan di Moskow, harus menjalani hidup dengan melanglang buana ke berbagai negeri. Dari Uni Soviet, Cina, Birma, Belanda, sampai akhirnya Ibrarri memilih menjadi warga negara Prancis karena negeri Indonesia yang sejak lama didambakannya belum juga mau menerima Ibarruri kembali.
Segenap pengalaman pahit, asam, dan manis, yang dialami Ibrarurri dituliskan dalam roman biografisnya yang ternyata cukup nyaman untuk dinikmati, daripada harus membaca buku serius yang nyatanya seringkali justru membuat orang sakit kepala. Jalur menulis non-ilmiah memang menjadi pilihan bagi kebanyakan orang-orang Merah, baik pra atau pasca G-30-S, untuk menyampaikan pesan, program, pembelaan, juga penyangkalan, demi pembersihan nama dan pelurusan sejarah, agar bisa diterima dengan lebih manusiawi oleh publik.
Studi-studi tentang G-30-S sudah banyak dilakukan namun tetap menarik perhatian karena kejadian itu sendiri, menurut berbagai kalangan, sudah lebih mirip sebuah repertoar yang multitafsir. Namun yang terjadi kemudian, multitafsir itu dipaksa untuk seragam. Selama 32 tahun di bawah rezim Soeharto, sejarah Indonesia telah dibentuk sedemikian rupa dan, apesnya, semua yang tak menguntungkan sengaja diarahkan kepada kaum Merah dengan metode pukul rata, tanpa terkecuali. Kata orang zaman dulu, penggilingan Tuhan memang bekerja dengan lamban tetapi pasti dan tak bisa dihentikan oleh manusia mana pun. Maksudnya, pada akhirnya “beras” kebenaran pasti akan dibersihkan dari “gabah” kebohongan dan kekeliruan. Suatu saat nanti, pastilah Tuhan mengizinkan sejarah untuk berkata benar. (Iswara N Raditya)
Referensi:
Anderson, Benedict (2000), “Petrus Jadi Ratu”, dalam Abdul Latief, Pledoi Kol. Abdul Latief: Soeharto Terlibat G-30-S, Jakarta: ISAI, 2000, hlm. xv.
Emmy Kuswandari (18 Februari 2002), ”Sulami: Saya Hanya Ingin Tentara Memperbaiki Diri”, dalam www.sinarharapan.co.id., data diakses pada 27 Maret 2009.
Green, Marshall, Dari Sukarno ke Soeharto: G-30-S dari Kacamata Seorang Duta Besar, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Hajar NS (ed.), Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa, Jakarta: Iboekoe, 2008, hlm. 20.
Ibarruri Putri Alam, Roman Biografis Anak Sulung D.N. Aidit, Jakarta: Hasta Mitra, 2006.
Iswara N. Raditya, “Njoto: Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni!”, dalam An Ismanto (ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: Iboekoe, 2007, hlm. 226-228.
Maria Hartiningsih (2009), “Narasi Masa Lalu”, dalam www.kompas.com, data diunduh pada 27 Maret 2009.
Rhoma Aria Dwi Yuliantri & Muhidin M Dahlan (eds.), Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1955, Yogyakarta: Merakesumba, 2008, hlm. 5-6.
Rhoma Aria Dwi Yuliantri, “Harian Rakjat: Di Bawah Pukulan dan Sabetan Palu Arit”, dalam Muhidin M Dahlan (ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa, Jakarta: Iboekoe, 2008, hlm. 699.
Sudjinah S. Djin (1961), ”Memecah Gelombang”, cerita pendek dalam Harian Rakjat, 27 Maret 1961.
Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang : Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2003.
Syamdani (ed.), Kontroversi Sejarah di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, hlm. 105-170.
No comments:
Post a Comment